Materi Lanjutan Ke-2

Sabtu, 13 Maret 2010
Materi Lanjutan ke-2


5.4. Kunci

Tanda kunci (Inggris: key signature) berbeda dengan kunci (clef), digunakan untuk menunjukkan skala nada yang berbeda-beda. Tanda kunci selalu ditempatkan di setiap awal garis paranada (bukan hanya di awal lagu) dalam bentuk susunan aksidental kres dan mol. Khusus untuk skala C mayor tidak diperlukan tanda kunci sedangkan untuk yang lainnya menggunakan 1 hingga 7 tanda aksidental baik kres maupun mol. Penggunaan aksidental sebagai tanda kunci tidak bisa dicampur antara kres dan mol. Misalnya, untuk skala A mayor hanya menggunakansusunan 3 kres sedangkan skala Bes mayor hanya menggunakan susunan 3 mol. Dengan demikian tidak ada tanda mula yang menggunakan kombinasi kres dan mol.

Satu tanda kunci mengakomodasi pasangan dua pola skala (mayor dan minor) karena skala minor berasal dari skala mayor. Dengan demikian skala C mayor dan A minor sama-sama menggunakan tanda mula nol kres maupun nol mol atau tidak menggunakan simbol tanda kunci. Sehubungan dengan itu kedua skala tersebut bersaudara atau dalam istilah teori musik disebut memiliki hubungan “relatif” dan oleh karenanya tinggal di dalam satu tanda kunci sebagai “rumah” mereka.

Tabel 5: Kunci Dasar dan Tanda Kunci

Pada tabel di atas tampak bahwa selain skala C mayor dan A minor, skala baru yang menggunakan kres selalu dimulai dari nada kelima skala yang lama sedangkan yang menggunakan tanda mol selalui dimulai dari nada keempat. Dengan demikian skala dengan tanda mula satu kres dimulai dari nada G dan yang menggunakan tanda mula satu

mol mulai dari nada F. Untuk selanjutnya pola jarak untuk skala mayor diterapkan pada masing-masing skala yang baru. Itulah sebabnya nada F pada skala G mayor harus dinaikkan setengah laras menjadi Fis dan nada B pada skala F mayor diturunkan setengah laras menjadi Bes, sebagai konsekuensi diterapkannya pola mayor. Kedua nada tersebut (Fis dan Bes) tidak perlu ditulis di belakang tanda aksidental karena pada permulaan garis paranada.

Petunjuk nada-nada yang harus dinaikkan atau diturunkan diekspresikan oleh jumlah kres dan mol pada tanda mula. Masing-masing tanda aksidental pada tanda mula hanya ditulis dalam satu garis atau spasi saja guna mewakili nada yang harus dinaik-turunkan. Misalnya pada kunci atau skala G mayor tanda mula satu kres hanya ditulis di depan nada F pada garis teratas paranada saja. Walaupun demikian bukan hanya F tersebut yang dinaikkan menjadi Fis namun seluruh F pada oktaf-oktaf di bawah dan diatasnya juga otomatis menjadi Fis. Sehubungan dengan itu cara penulisan tanda-tanda aksidental pada garis paranada tidak dapat dibuat semaunya melainkan ada urutan yang baku sebagaimana tampak pada ilustrasi berikut ini.

Tabel 6: Susunan Aksidental Kres pada Tanda Kunci

Pada tabel 2 di atas tampak bahwa walaupun urut-urutan aksidentalnya sama pada setiap kunci/ clef, posisi peletakannnya berbeda dari satu kunci ke kunci yang lain. Susunan nada dasar baru yang menggunakan tanda kunci beraksidental kres dengan sendirinya sama dengan susunan skala, yaitu senantiasa mulai dari nada yang kelima. Urut-urutan nada dasar atau skala semacam itu biasa juga disebut dengfan istilah “lingkaran kwint” atau “fifth circle”. Sementara itu urut-urutan nada dasar dan tanda kunci yang menggunakan aksidental mol disebut “lingkaran kwart” atau “fourth circle”.

Tabel 7: Susunan Aksidental Mol pada Tanda Kunci

5.5. Tempo

Jika melodi dapat dianalogikan sebagai jiwa bagi musik maka jantungnya ialah ritme dan tempo. Tempo merupakan “polisi lalulintas” yang mengatur kelancaran lalulintas sedangkan kelancaran lalulintasnya ialah ritme. Petunjuk tempo pada naskah musikal tertulis di kiri atas halaman permulaan sebuah karya musik. Petunjuk tersebut memberitahukan kepada pemusik seberapa cepat karya tersebut harus dimainkan; apakah Andante (biasa secepat orang berjalan), Allegro (cepat), Largo (lebar/ lambat), Presto (sangat cepat), dan sebagainya (Ewen 1963, 4).

Dalam prakteknya, kecepatan tempo adalah relatif. Pada masa lalu istilah cepat dan lambat hanya untuk membedakan kecepatan di antara satu lagu dengan lagu yang lain sedangkan rincian seberapa cepat harusnya sebuah lagu dimainkan, belum ada. Menjelang akhir abad ke-18 ditemukan metronom, yaitu instrumen untuk mengukur berbagai kategori kecepatan tempo musik. Walaupun kini yang dianggap sebagai penemu instrumen tersebut ialah seorang ahli dari Jerman bernama Johann Nepomuk Maelzel (1772–1838) namun sebenarnya idenya telah terlebih dahulu ditemukan oleh Dietrich Nikolaus Winkel (c.1776–1826) dari Belanda.

Metronom terdiri dari sebuah bandulan yang posisinya dapat diubah-ubah dengan menggeser kepala bandulan tersebut pada sebuah tongkat pengayun guna mengatur kecepatan gerak bandulan sesuai dengan skala angka yang dibutuhkan. Bandulan dan tongkatnya digerakkan oleh per dalam suatu rangkaian mesin yang setiap kali gerakan bandulan mencapai masing-masing sisi akan terdengar bunyi ketokan yang menandai pulsa atau ketukan. Pada metronom terdapat fasilitas yang dapat mengatur jenis irama tertentu dengan bunyi ”ting” yang lebih menonjol dan nyaring dari bunyi ketokan yang monoton. Misalnya pada irama 3/4 akan terdengar pola bunyi ”ting, tok, tok, tok”, yang berulang-ulang.

Sehubungan dengan itu di samping tanda tempo berupa istilahistilah biasanya pada permulaan naskah musikal juga tertulis tanda metronom yang ditulis, misalnya “M.M. (Maelzel's metronome) = 60”, yang menunjukan bahwa kecepatan lagu yang dituntut ialah setiap satu ketukan nada setengah setara dengan 60 ketokan per menit. Kemasan metronom konvensional cenderung pada bentuk piramid. Walaupun metronom konvensional masih tetap diproduksi, saat ini kita juga bisa memperoleh berbagai macam model metronom elektronik ataupun digital. Dalam sejarah musik klasik, metronom pernah satu kali dipergunakan sebagai alat musik, yaitu pada karya komponis Honggaria, György Ligeti, berjudul Poème symphonique (1962), yang menggunakan 100 metronom (Encyclopedia Britanica 2005)

Secara umum tempo musik dapat diklasifikasikan menjadi 6 gradasi, mulai dari kategori sangat lambat, lambat, sedang, agak cepat, cepat, dan sangat cepat. Pada masing-masing kategori tersebut paling tidak terdapat antara dua hingga empat sub kategori.

Tabel 8: Tempo

Terminologi di atas dapat dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata molto (sangat) meno (kurang) poco (sedikit) dan non troppo (tidak terlalu banyak). Poco allegro dapat berarti agak Allegro. Allegro non troppo berarti tidak terlalu allegro. Di samping tanda tempo yang tetap di atas ada juga istilah yang mengindikasikan perubahan tempo. Yang paling sering digunakan di antaranya ialah accelerando (berangsurangsur menjadi cepat) dan ritardando (berangsur melambat); tanda a tempo (kembali ke tempo asal) biasanya terdapat pada bagian yang telah dilalui tanda perubahan tempo namun bukan di bagian akhir lagu.

5.6. Dinamika

Volume yang menunjukkan tingkat kekuatan atau kelemahan bunyi pada saat musik dimainkan, disebut dinamik. Sebagaimana halnya tempo yang bermacam-macam dari yang tetap dan berubah, maka demikian juga dengan dinamik, ada yang tetap dan ada juga yang berubah. Baik dinamik maupun tempo, keduanya berakar dari sifat-sifat emosi. Untuk mengungkapkan misteri dan ketakutan dibutuhkan bisikan, sedangkan kemenangan dan aktivitas yang berani resonansi yang penuh. Lagu untuk menidurkan anak atau Nina Bobo, maupun lagu-lagu cinta lebih banyak diekspresikan dengan jenjang dinamik daripada mars kemenangan. Instrumen-instrumen musik modern menyediakan jangkauan efek-efek dinamika yang luas yang diharapkan oleh koposer.

Dinamik-dinamik yang pokok berkisar dari yang paling lemah hingga yang paling kyat, yaitu:

Tabel 9: Dinamik

Dalam keadaan tertentu terdapat tanda-tanda perubahan dinamik. Yang paling umum di antaranya ialah sebagai berikut:

Tabel 10: Perubahan Dinamik

Sebagai konsekwensi meningkatnya usuran dan tingkat kepersisan dalam orkestra, komposer memperluas jangkauan dinamik ke dua arah. Sehubungan dengan itu di samping tanda dinamik yang tertulis di atas terdapat juga dinamik ppp (pianissimo posible) atau selemahlemahnya dan fff (fortíssimo possible) atau sekuat-kuatnya. Jika perlu kondaktor atau komponis dapat menambahkan menjadi tiga bahkan empat f atau p.

Terdapat berbagai macam tanda yang berkaitan dengan dinamik dan tempo yang mengekspresikan emosi dalam karya musik. Tanda-tanda tersebut disebut “tanda ekspresi” yang jumlahnya semakin meningkat pada abad ke-18 dan selama abad ke-19, sebagai konsekuensi meningkatnya keinginan komposer untuk menunjukkan niat/keinginannya. Sebagai contoh dapat kita bandingkan di antara naskahnaskah musical Bach dan Tchaikovsky.

Sejumlah peristilahan mengacu pada tempo dan dinamik. Memang, khususnya yang digunakan pada abad ke-19 adalah untuk memantapkan perasaan (mood) dan karakter suatu karya. Andante maestoso (lambat biasa dan mulia) mengindikasikan suatu langkah yang stabil dan penuh dengan sonoritas. Morendo atau menghilang, menunjukkan bahwa tempo harus melambat dan pada saat yang sama harus melembut atau melemah. Scherzando atau bercanda, mempersyaratkan bunyi yang ringan dan gerakan yang lincah. Con brio (dengan berani) mensugestikan suatu langkah yang enerjetik, dan sonoritas yang hidup.

5.7. Dinamik dan Ekspresi

Elemen-elemen dinamik dan ekspresi musikal juga banyak terdapat dalam bentuk tanda-tanda ekspresi. Crescendo dan diminuendo adalah di antara efek-efek ekspresif yang penting bagi komposer. Melalui volume suara yang tenggelam dan menghilang secara bertahap, ilusi yang jauh memasuki musik, seperti sumber bunyi yang mendekati kita dan kemudian keluar.

Dengan berkembangnya gaya orchestral, composer dengan cepat belajar untuk mengambil keuntungan dari prosedur tersebut. Misalnya Rossini sangat ketagihan untuk memanfaatkan suatu pengembangan bunyi long-drawn-out guna menampilkan efek dramatik yang ia karikaturkan dalam karyanya “Monsier Crescendo” di Paris. Impak dari Crescendo dapat sedikit memberikan efek sengatan, seperti terdapat dalam bagian penutup overturnya, The Barber of Seville.

Dalam kasus tersebut, crescendo menjadi kekuatan yang mempertajam musik, yaitu elemen yang menentukan konsepsi secara menyeluruh. Hal tersebut dapat kita jumpai dalam Prelude to Lohengrin karya Wagner yang bermaksud untuk mengambarkan turunnya Holy Grail dari langit. Gambaran sekelompok malaikat yang mendekat dari suatu jarak kemudian menghilang, diterjemahkan ke dalam pengertian apa yang telah menjadi pola dasar dalam musik, yaitu crescendo dan descrescendo. Contoh yang lebih jelas dari skema dinamik semacam ini juga terdapat dari karya Debussy, Nocturne untuk orkestra yang diberi tjudul Fêtes (Festival).

Crescendo yang dikaitkan dengan accelerando, yaitu menjadi lebih kuat sekaligus juga menjadi cepat, menciptakan suatu kenyamanan semapan decrescendo yang dibarengkan dengan ritardando, yaitu berangsur melemah dan melambat.

Efek intensifikasi volume dan kecepatan diterapkan dalam Pacific 231 karya Honeger. Dalam karya ini composer mencoba mensugestikan suatu rasa kekuatan yang dikaitkan dengan sebuah lokomotif dengan cara membangun momentum dan kecepatan menembus malam. Dalam karya ini crescendo dan accelerando diterjemahkan ke dalam gerakan imajiner. Hal tersebut juga dilakukan oleh Tchaikovsky dalam bagian finale Waltz oftheFlowers yang dirancang untuk mempersiapkan penarikan gorden untuk penampilan balet Nutcracker. Untuk keperluan tersebut ia memanjat secara ajeg dari register tengah kepada register tinggi yang cemerlang dan gugup, sehingga ketiga elemen

-yaitu percepatan tempo, peningkatan volume, dan peningkatan tingkat ketinggian- saling mendesak untuk menciptakan klimaks.

5.8. Timbre/ Warna Suara

Schoenberg mengatakan bahwa kejelasan (lucidity) adalahvtujuan dari warna musik. Sebuah nada yang diproduksi oleh trompet akan memiliki suatu kualitas tertentu. Nada yang sama pada biola akan terdengar sangat berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut menunjukkan adanya karakteristik warna atau tinbre pada setiap instrument. Timbre memfokuskan impresi musikal kita karena ia menyampaikan karakter khusus dan mutlaknya kepada gambaran tonal. Pada saat komposer memilih warna ia menciptakan dunia bunyi tertentu yang menghidupkan musik.

Untuk mengelola warna suara composer menggunakan dua media yaitu suara manusia dan instrument-instrumen musik. Ia dapat saja menulis kombinasi di antara keduanya untuk mencapai tujuannya. Secara konstan ia mengingat sifat alami medium yang ia pilih. Ia mempertimbangkan kapabilitas dan limitasi setiap instrument; ia mencoba membuatnya melakukan hal-hal tersebut untuk mentransmutasikannya ke dalam sumber-sumber keindahan yang segar.

Yang menjadi pertimbangan para composer di antarannya ialah keterbatasan jangkauan setiap instrument, jarak di antara yang trrendah dan tertinggi, yang tidak boleh dilanggar, tingkat kelembutan di antara yang terlembut dan yang terkuat yang mampu dimaikan. Belum lagi kebiasaan-kebiasaan teknis setiap instrument yang berbeda dalam memainkan nada-nada, apakah dalam register rendah, tengah dan atas, menentukan formasi nada tertentu yang mudah bagi suatu instrument, belum tentu mudah untuk instrument yang lain. Misalnya Tuba, dapat menahan nada panjang tetapi sulit untuk memainkan bagian-bagian yang cepat. Instrumen seperti piano, mudah untuk memainkan bagian-bagian cepat tapi tidak memiliki kemampuan untuk menahan nada panjang. Pertimbangan-pertimbangan semacam ini menentukanpilihan composer, seakan-akan ia membungkus ide-idenya dengan pakaian dalam pelukan instrumentalnya.

Beberapa composer memiliki suatu rasa warna yang lebih cemerlang dari yang lainnya. Para ahli orkestrasi memproses warna suara dalam tingkatan yang tinggi. Yang jelas warna dalam musik adalah bagian dan paket dari ide yang ttdak terpisahkan darinya, sebagaimana halnya harmoni dan ritme. Timbre lebih daripada sekedar elemen asesori yang kaya yang ditambahkan ke dalam suatu karya. Timbre adalah salah satu yang memperhalus kekuatan-kekuatan dalam musik.

Selasa, 09 Februari 2010
Materi Minggu-1



BAHAN-BAHAN DASAR PEMBENTUK MUSIK


Sebagaimana halnya produk-produk manusia yang lain seperti kendaraan bermotor, gedung, senjata, dan apapun yang terdapat di dunia ini, bahkan termasuk manusia sendiri yang merupakan ciptaan Tuhan, maka musik pun tersusun dari unsur-unsur yang membentuk keberadaannya. Jika dibandingkan dengan manusia hidup maka musik juga memiliki jiwa, jantung, pikiran, dan kerangka. Jiwa musik terdapat pada melodi, jantung atau denyut jantungnya adalah ritme, pikiriannya adakah harmoni dan kontrapung, dan kerangkanya ialah bentuk. Beberapa komponen pendukung keberadaan musik tersebut tersusun dari bahan-bahan pembentuk unsur-unsur tersebut yang akan dibahas dalam bab ini.


5.1. Bunyi

Bunyi dan nada dipelajari dalam mata pelajaran iImu akustika musik. Biasanya ilmu akustika dipelajari sebagai landasan dalam memahami produksi bunyi berbagai instrumen musik. Secara akustik, bunyi dihasilkan oleh getaran. Sebagai contoh ialah fenomena produksi suara yang dihasilkan dengan jalan menggesekkan alat penggesek (bow) pada dawai-dawai biola. Contoh lain ialah petikan pada dawai-dawai gitar. Perlu dicatat bahwa bunyi bukan vibrasi melainkan efek yang dihasilkan vibrasi. Secara sederhana bunyi adalah sensasi otak. Bunyi yang diproduksi alat musik maupun apa saja, menyebar ke segala arah. Beberapa di antaranya ditangkap oleh telinga kemudian dikirim ke otak. Otak kemudian menerjemahkan pesan-pesan tersebut sebagai bunyi.

Nada memiliki tingkat ketinggian yang berbeda-beda. Tingkat ketinggian bunyi maupun nada yang dalam istilah internasional disebut pitch (bahasa Inggris) ditentukan oleh kecepatan getar atau biasa disebut frekuensi. Getaran yang teratur pada jumlah tertentu dalam setiap detiknya menghasilkan nada-nada musikal yang membedakan dari bunyi yang diproduksi untuk tujuan lain. Semakin tinggi kecepatan getaran maka semakin tinggi pula tingkat ketinggian suatu bunyi atau nada. Sebuah nada dengan jumlah getaran tertentu akan menjadi satu oktaf lebih tinggi jika jumlah getarannya dilipat gandakan. Misalnya nada C tengah yang memiliki 256 getaran per detik, maka nada oktafnya, yaitu C berikutnya, akan memiliki 512 getaran per detik.

Berdasarkan tinggi rendahnya, penyebutan nada-nada musikalmenggunakan tujuh abjad pertama yaitu A, B, C, D, E, F, dan G, mulai dari yang terrendah hingga tertinggi. Nada kelipatannya yaitu A, yang hadir setelah G, disebut sebagai oktaf. Demikian pula seterusnya hal tersebut berlaku untuk kelipatan nada-nada yang lainnya. Secara umum wujud notasi nada ialah butir-butir yang berbentuk sedikit lonjong.


5.2. Garis Paranada

Butir-butir nada diletakan pada lima buah garis sejajar yang di Indonesia lazim disebut paranada (Inggris: Staff). Sitem penulisan butirbutir nada para paranada dikenal dalam masyarakat kita dengan istikah not balok. Pada dasarnya prinsip membaca not balok adalah sangat sederhana seperti halnya membaca sebuah grafik yang logis. Tingkat ketinggian nada dapat terlihat dengan jelas sebagaimana apa adanya pada paranada. Butir nada yang terletak di bawah menunjukkan nada yang rendah dan demikian pula halnya dengan nada yang tinggi tentunya terletak di wilayah atas. Pada garis paranada terdapat garis-garis vertikal pembatas iramam disebut garis birama. Di antara garis-garis pembatas terbentuk kolom-kolom yang disebut birama (Inggris: bar)

Nama-nama nada diterapkan sejalan dengan keadaan tersebut, sehingga semakin tinggi letak butir nada maka abjad yang digunakan semakin ke kanan. Pada ilustrasi di atas dapat kita maklumi bahwa posisi nada-nada pada paranada dapat diklasifikasikan pada dua tempat, yang pertama yaitu pada spasi atau di antara garis, dan yang kedua pada garis. Sebagaimana ditunjukkan pada birama pertama dan kedua dalam contoh di atas, secara berurutan nada B pada garis ketiga, terletak di atas nada A pada spasi kedua. Nada-nada yang berada di luar kelima garis sejajar atau paranada tersebut, diakomodasi seperlunya oleh garis-garis bantu yang diletakkan di atas maupun di bawah paranada.

Guna memperoleh pemahaman yang lebih mendalam, maka penulisan nada pada paranada dapat disimak pada ilustrasi berikut ini:

Paranada dapat mengakomodasi seluruh wilayah nada-nada musikal dari yang terrendah hingga yang tertinggi. Untuk keperluan tersebut nama-nama nada pada paranada ditentukan oleh kunci (Inggris: Clef) yang berbeda-beda yang diletakkan pada setiap awal paranada. Penulisan nada-nada pada wilayah suara tinggi (Diskan) menggunakan kunci G (G clef) atau biasa juga disebut treble clef; nada-nada pada wilayah suara rendah (baskan) menggunakan kunci F atau biasa disebut bass clef. Di antara kedua kunci tersebut ada kunci-kunci lain yaitu kunci C yang biasa disebut dengan alto clef, untuk mengakomodasi penulisan nada-nada tengah.

5.3. Skala Nada

Dalam dunia pendidikan musik Indonesia “skala nada” lebih dikenal dengan istilah “tangga nada” sedangakan secara internasional disebut scale (Inggris). Nada-nada yang berurutan secara alfabetis adalah susunan nada-nada skala. Nada pertama pada sebuah skala memiliki kedudukan sebagai Tonika yang sekaligus menjadi nama dari tangga nada tersebut. Dengan demikian rangkaian nada-nada skala yang berawal dari B disebut tangganada B dan B adalah tonika dari tangga nada tersebut.

Rangkaian nada dalam melodi terdiri dari kombinasi berbagai susunan interval, yaitu jarak di antara sebuah nada dengan nada berikutnya. Interval diukur dengan menghitung jumlah nada-nada berderet yang seharusnya ada di antara dua nada berurutan yang membentuk interval, termasuk nada pertama dan terakhir. Oleh karena itu interval di antara C dan E ialah Tiga karena sebenarnya ada D di antaranya sehingga jumlah nada yang membentuk intervalnya ada tiga yaitu C-D-E. Demikian pula interval di antara C dan G ialah Lima berdasarkan penghitungan jumlah nadanya yaitu C-D-E-F-G.9

Melodi yang kita dengar sehari-hari tersusun dari skala tujuh nada atau disebut juga skala diatonis (dari bahasa Latin, dia = tujuh; tonus = nada). Berbeda dari pengertian jarak sebagai interval di antara dua nada, di antara nada-nada skala yang berurutan terdapat dua macam jarak yaitu jarak penuh (tone / whole) dan jarak setengah (semi tone/ half step). Kedua jenis jarak nada-nada skala tersebut telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan berbagai susunan skala dari ketujuh susunan nada tersebut oleh para komponis dan ahli teori musik, selama berabad-abad. Secara umum ada dua skala yang digunakan dalam musik klasik yang menggunakan sistem tonal, yaitu skala mayor dan minor. Skala mayor ialah yang memiliki jarak setengah di antara nada ketiga dan keempat, dan di antara nada ketujuh dan kedelapan (oktafnya). Contoh di bawah ini adalah skala C mayor.

Yang kedua ialah skala minor yang memilki tiga macam pola yaitu minor asli, minor harmonis dan minor melodis. Skala minor asli (natural) dengan jarak setengah di antara nada kedua dan ketiga, dan di antara nada kelima dan keenam. Jika diperhatikan maka karakteristik pola ini sama dengan skala mayor yang dimulai dari nada keenam. Dengan demikian sebutan minor asli pada pola ini menunjukkan bahwa ia berasal dari skala mayor dengan tanpa perubahan sedikit pun kecuali mulai dari nada keenam skala mayor.

Sementara skala minor natural berasal dari skala mayor, dua pola skala minor yang lain berasal dari skala minor asli. Skala minor harmonis menaikkan nada ketujuh setengah laras dengan menggunakan aksidental, yaitu tanda untuk menaikkan dan menurunkan nada asli. Pada skala minor harmonis ini nada G dinaikkan dengan tanda aksidental kres ( #) sehingga menjadi Gis yang lebih tinggi setengah laras. Penaikkan ini tampaknya bermaksud untuk mempertegas nada A di atasnya sebagai representasi tonika yang merupakan identitas skala tersebut yaitu skala A minor.

Sebagaimana halnya nada B dalam skala C mayor yang merupakan pengantar ke C, posisi Gis dalam skala A minor adalah juga sebagai pengantar ke A. Resiko dari penaikan ini ialah jarak yang melebar di antara nada keenam dan ketujuh sehingga terasa kurang melodis. Ketegasan tonika yang disebabkan penaikan tersebut menyebabkan pola skala minor ini lebih harmonis di bandingkan dengan minor asli. Ketegasan dan konsistensi skala ini menyerupai skala mayor sehingga cocok digunakan untuk menyusun harmoni.

Skala minor melodis memiliki karakteristik yang sesuai dengan namanya. Skala ini memiliki kecenderungan tonalitas yang lebih mirip dengan skala mayor yaitu di samping memiliki ketegasan tonika, juga lebih mengalir dibandingkan dengan minor harmonis sebagai akibat dari penerapan dua macam jarak nada saja yaitu tone dan semi tone. Keunikan skala minor melodis dibandingkan dengan ketiga skala lainnya ialah terdapatnya pola yang berbeda pada saat mulai atau naik dan saat kembali atau turun. Pada saat naik bukan hanya nada ketujuh yang dinaikkan namun juga nada keenam yaitu dari F menjadi Fis. Pada saat turun, kedua nada yang sebelumnya telah dinaikkan dengan tanda aksidental kres, kini dikembalikan ke nada aslinya dengan aksidental natural.

Dengan demikian pada saat turun polanya sama dengan skala mayor turun mulai nada keenam. Jika kedua nada tersebut tidak dikembalikan pada saat turun maka akan sama dengan pola skala A mayor turun dari tonikanya. Dengan kata lain skala tersebut telah bermodulasi secara pararel kepada kunci mayor. Pada skala minor natural turun statusnya tidak berubah menjadi C mayor karena mulai dari A sebagai tonikanya.

Di samping mayor dan minor tentu saja ada pola-pola skala yang lain yang jarang digunakan dalam musik klasik yang berbasis sistem tonal. Skala-skala tersebut di antaranya ialah modus-modus gereja Abad Pertengahan, skala whole-tone11 yang dipopulerkan Debussy, skala pentatonik (lima nada) yang digunakan untuk menciptakan efek-efek oriental. Di samping itu ada juga skala lain yang didasarkan atas skala diatonis yaitu skala kromatis; dari kata latin chrome yang berarti warna. Tampaknya maksud pewarnaan dalam konteks ini ialah penambahan nada-nada sisipan dari nada-nada pokok; misalnya di samping G ada Gis atau Ges yang lebih rendah setengah laras karena diturunkan oleh tanda aksidental mol .


Evaluasi

Apa yang dimaksud dengan :

a. Bunyi

b. Garis Paranada

c. Skala Nada

Minggu, 03 Januari 2010












I Love History

Jumat, 18 Desember 2009
The Dinour of Smithsonian Institution

Cuzco Area (Peru)

Four Corners (Colorado-New Mexico)

Smithsonian Institution
 

Browse

Pengikut